Sukses

Idris Sardi Dari Musik ke Film Sampai Raih 10 Piala Citra

Kelihaiannya bermain biola membuahkan penghargaan sebagai komponis dan ilustrator musik untuk film.

Liputan6.com, Jakarta Sepertinya Idris Sardi memang ingin fokus di dunia musik. Setelah datang ke Jakarta di tahun 60-an, Idris yang sebelumnya memainkan musik biola serius, idealisme Heifetz akhirnya memilih musik komersialisasi Helmut Zackarias.

Seandainya dulu Idris Sardi belajar klasik terus pada tingkat kelas master dengan Jascha Heifetz atau Yahudi Menuhin, maka saat ini dia diramal akan menjadi pemain biola kelas dunia setingkat dengan Heifetz dan Mehuhin. Namun, meskipun dia belum pernah belajar biola di luar negeri, ia tetap setingkat dengan Zacharias.

Orang Indonesia yang pernah belajar dengan Haifetz adalah Ayke (Liem) Nursalim, kini keadaannya tidak dapat main biola lagi akibat kram pada jari-jarinya, dan merupakan wanita pemain biola Indonesia yang pernah terpandang (dulu di usia 4 tahun/1955 di Yogyakarta sudah main di orkes).

Kelihaiannya bermain biola membuahkan penghargaan sebagai komponis dan ilustrator musik untuk film. Dirinya memang sempat membantu penggarapan film Pengantin Remaja (1971), Perkawinan (1973), Cinta Pertama (1974), dan Doea Tanda Mata (1985). Piala Citra dalam Festival Film Indonesia pun berhasil digenggamnya karena alunan musiknya di film-film itu.

Kiprahnya di dunia film memang berawal dari Pesta Musik La Bana tahun 1960 hingga semakin produktif di tiga dekade berikutnya. Ia terlibat tak kurang dari 150 produksi film dan berhasil meraih 10 piala Citra.

Di film terakhirnya, Hasduk Berpola (2013), Idris memerankan Masnun, veteran perang kemerdekaan yang terlunta-lunta di Surabaya. Bekerja sama dengan penata musik senior Thoersi Argeswara.

"Saya mulai mengidolakan beliau sejak film Cinta Pertama (1973). Terutama karena gaya bermusiknya yang pada era itu mirip dengan Jerry Goldsmith, salah seorang komposer ternama asal Amerika.” ungkap Thoersi.

Lebih lanjut, Thoersi juga menyatakan kekagumannya terhadap Idris Sardi, selain karena Idris lekat dengan karakter dan nuansa musik Eropa dalam mayoritas gubahannya, juga karena sifatnya yang sangat teliti, detail dalam mengerjakan komposisi musik. “Pak Idris selera musiknya tinggi. Ia nampak benar-benar memahami apa yang dikerjakannya.”

Kerjasama Idris dengan Thoersi pada film Hasduk Berpola berlangsung terpisah. Idris memainkan musik karya Chopin serta karya gubahannya sendiri di Indonesia, sedangkan Thoersi melengkapinya dengan musik latar bersama tim orkestra di Beijing.

"Saya memang belum sempat bertemu Pak Idris secara langsung. Kolaborasi yang terjadi hanya melalui pertukaran data. Namun begitu, ini menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa untuk saya," tutupnya.

Kecuali pada film, Idris juga memberi warna tersendiri pada industri musik pop Indonesia. Lepas dari Orkes Simfoni Jakarta sebagai pemain biolin utama, dia membentuk grup band Eka Sapta bersama Bing Slamet (bongo, konga), Ireng Maulana (gitar), Itje Kumaunang (gitar), Benny Mustapha (drum), Darmono (vibraphone), dan Kamid (konga) pada awal tahun 60an.

Tidak berlebihan bila Idris juga menjadi pelopor dalam 'memasukkan' suara biolin dalam dunia musik pop dengan gesekannya yang dikembangkannya dari gaya gesekan Helmut Zacharias menjadi gaya pribadinya. Idris juga yang mempelopori rekaman musik pop instrumental alias tanpa penyanyi. Biolin selalu menjadi instrumen utama dalam musik pop yang dimainkannya.

Latar belakang musik klasik dari pendidikan yang ditempuhnya, tidak menjadikan Idris tabu dengan musik pop. Bahkan, dari sikap bermusiknya tampak bahwa dia tidak menarik batas antara klasik-serius dan pop. Semua jenis musik dimainkannya dengan sikap sama.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.