Sukses

Nonton Jaka Sembung, Merayakan Film Kelas B Orde Baru

Film yang boleh jadi tak dihargai ketika edar di bioskop namun bertahun-tahun kemudian dipuja sedemikian rupa oleh generasi baru.

Liputan6.com, Jakarta Begini yang ditulis majalah Tempo edisi 17 Juli 1982 saat mengulas film Jaka Sembung (sutradara Sisworo Gautama Putra, 1982) yang dibintangi Barry Prima lewat artikel berjudul "Layar Putih Berlumur Darah": 

"… skenario dan sutradara memfokuskan Jaka Sembung pada perkelahian fisik. Tidak penting benar yang disebut perkembangan watak peran utama, perkembangan cerita yang meyakinkan, konflik antra rakyat dan penjajah, diperhitungkan. Yang penting ada alasan untuk suatu adegan perkelahian yang seru."

"Maka film ini terasa kering meskipun basah oleh darah. … layar putih menjadi merah. Darah memuncrat ke mana-mana, daging tersobek menjadi tontonan utama."

Tak lupa, di ujung ulasan penulisnya mengingatkan, "Dan yang lebih mencemaskan, apabila nanti terbukti bahwa pertunjukan yang mempertontonkan kekerasan secara realistis, ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya kejahatan yang sadistis," sambil mengutip sebuah hasil penelitian di Amerika.

Bertahun-tahun kemudian, tepatnya jelang akhir Juni ini, generasi yang baru merayakan film Jaka Sembung dengan cara berbeda.

Sekarang, apa yang vintage alias jadoel memang dimaknai dengan cara berbeda, jauh dari yang diniatkan semula. Apa yang zaman dahulu dikategorikan tontonan kelas rendah tak bermutu, kini malah jadi tontonan kelas menengah yang setengah mati memujanya.

Kini, misalnya, film-film Warkop DKI, Suzzanna, atau Barry Prima dirayakan oleh penonton baru. Film-film tersebut, dalam istilah sinema kontemporer, masuk kategori "cult film", film yang boleh jadi tak dihargai ketika edar di bioskop namun bertahun-tahun kemudian dipuja sedemikian rupa oleh orang-orang.

Mungkin hal ini juga sejalan dengan semangat posmodern di zaman kapitalisme mutakhir. Apa yang adiluhung dan karya kelas rendah tak penting lagi. Semua bisa dirayakan dengan sama terhormatnya. 

Sepanjang pertengahan Juni kemarin, bioskop alternatif Kineforum di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat memutar film-film jadoel macam Jaka Sembung, Segi Tiga Emas, Golok Setan, Ratu Ilmu Hitam, hingga Pembalasan Ratu Laut Selatan dalam program "Menimbang Ulang Film-film Eksploitasi Orde Baru".

Next page: klik angka 1 di bawah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Juru Bicara Film Nasional

Juru Bicara Film Nasional

Suatu fenomena menarik yang sebetulnya sudah berlangsung lama (sejak awal 2000-an, persisnya), film-film tersebut rupanya beredar resmi di luar negeri didistribusikan oleh distributor luar macam Mondo Macabro DVD, Troma Team, ZDD, VideoAsia, Maia, dan sebagainya. Film-film tersebut disulih-suarakan ke bahasa Inggris dan diberi judul Inggris.

Maka jadilah Jaka Sembung berjudul Inggris The Warrior, Segi Tiga Emas jadi Stabilizer, Golok Setan jadi The Devil’s Sword, Ratu Ilmu Hitam jadi Queen of the Black Magic, Pembalasan Ratu Laut Selatan jadi Lady Terminator.

Distributor asing pun terkadang jahil mengubah nama pemain dan kru. Di Lady Terminator, misalnya, nama sutradara Tjut Djalil diubah jadi Jalil Jackson.

Apa hendak dikata, juru bicara perfilman nasional kita rupanya bukan film-film Usmar Ismail, Teguh Karya, Sumandjaya, atau bahkan Garin Nugroho, tapi film-film Barry Prima, Suzzanna, dan Advent Bangun.

Pertanyaannya, kenapa ada orang-orang bule di luar sana lebih tertarik nonton film-film aksi atau horror yang ketika edar dulu di masa Orde Baru dianggap kelas rendah, karya kelas B?

Ekky Imanjaya, pengamat film yang sedang mengambil gelar doktor jurusan Kajian Film, University of East Anglia, Inggris, dengan bidang kajian film-film jenis begini mengatakan, film-film tersebut disukai karena menawarkan sejumlah hal yang tak ada pada kebudayaan Barat.

"Mereka merayakan keanehan, eksotisme, dan otherness (kelainan)," kata Ekky dalam diskusi pada Sabtu (21/6/2014) malam di Kineforum.

Next page: klik angka 2 di bawah.

3 dari 3 halaman

The Next Cul Film

"The Next Cult Film"

Menonton film-film yang kini digolongkan ke dalam “film eksploitasi” tersebut memang mendatangkan rasa nikmat tersendiri. Terutama bagi penonton generasi baru. Film-film tersebut menawarkan sesuatu yang sangat berbeda dengan tontonan zaman kiwari. Ada keasyikan tersendiri ketika menontonnya.

Adegan-adegannya ajaib--untuk tidak menyebut konyol menurut ukuran sekarang. Tengok pertarungan Jaka Sembung melawan Ki Item yang tubuhnya selalu utuh kembali, atau betapa eksplisitnya dan penuh darah adegan seks di Lady Terminator.

Bagi sutradara Joko Anwar, yang Sabtu itu juga hadir sebagai salah satu pembicara, justru di situ menariknya film-film kelas B era Orde Baru ini. Katanya, menurut terminologi orang sekarang film-film tersebut masuk kategori "so bad it’s good" atau karena saking buruknya jadinya malah bagus.

"Sineas dulu punya ambisi besar, ingin membuat film yang bisa mengalahkan film Hollywood. Tapi mereka terkendala dana. Akhirnya mereka menggunakan apa saja agar filmnya jadi menarik," kata Joko.

Ia menekankan perbedaan mendasar antara sineas film aksi dan horor jadoel dengan sekarang. "Kalau sekarang membuat film asal saja, karena tujuannya make cash (mendapat uang)," katanya. Hasilnya pun asal jadi.

Yang menarik, terungkap pula film-film horor zaman sekarang pasca Orde Baru rupanya tak disimak oleh penonton-penonton di luar negeri seperti mereka memuja Jaka Sembung atau film Leak.

Wajar, sih. Film-film horor kita sekarang memang asal bikin kaget dan kebanyakan tiruan horor Thailand atau Jepang.

Tapi tergelitik juga untuk bertanya: dua puluh tahun dari sekarang, apa film-film horor Dewi Perssik atau Julia Perez yang tak disukai penonton kelas menengah saat ini, akan memiliki status cult film, dipuja oleh penonton generasi baru kelak?

Joko Anwar meragukannya. "I seriously doubt it," ujarnya. Film-film yang dibuat asal jadi dengan niat ingin cepat dapat uang tak bisa menyamai estetika film jadoel.

Jika pun ada yang berpotensi menjadi cult film setengah berkelakar Joko menyebut satu judul: Azrax: Melawan Sindikat Perdagangan Wanita (2013) film yang dibintangi Aa Gatot.

Kami pun terbahak mengingat momen saat menonton film itu dan berbagai adegan konyol yang tersaji di dalamnya. Dua puluh tahun dari sekarang adegan "cilukba" di Azrax, misalnya, bakal tetap bikin terbahak. (Ade/Mer)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini