Sukses

Keponakan Nassar-Muzdalifah Mengaku Alami MalapraktIk

Keponakan Nassar-Muzdalifah mengaku mengalami malapraktik dari sebuah rumah sakit. Mereka menuntut rumah sakit tersebut Rp500 miliar.

Liputan6.com, Jakarta Keponakan dari pedangdut Nassar dan Muzdalifah yang bernama Dasril Ramadahan mengaku mengalami malapraktik dari sebuah rumah sakit. Orangtua Dasril, Ahmad Haris menuntut rumah sakit berinisial S dengan tututan sebesar Rp500 miliar.

Pada 24 Mei 2014 lalu, Dasril mengalami kecelakaan ketika sedang mengendarai sepeda motor. Beruntung yang menabrak adalah orang yang bertanggung jawab hingga membawanya ke sebuah rumah sakit.

Dasril awalnya dibawa ke Rumah Sakit Usada Insani. Namun karena tidak mamu menangani, rumah sakit tersebut memberi rujukan ke Rumah Sakit Mayapada. RS Mayapada pun tak mampu menangani hingga akhirnya dirujuk ke rumah sakit berinisial S.

Rumah Sakit S kemudian menganjurkan kepada keluarga korban untuk melakukan operasi terhadap Dasril. Diakui oleh Ahmad Haris, karena dalam keadaan panik akhirnya dirinya mengiyakan keinginan pihak RS S tersebut.

"Kami panik, dan kami mau yang terbaik buat anak kami. Karena kata pihak rumah sakit, kalau tidak dioperasi maka kaki anak kami harus diamputasi," kata Ahmad Haris di kawasan Tomang, Jakarta Barat, Rabu (27/8/2014).

Selanjutnya >>

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Setelah Operasi Kaki Malah Membusuk

Ahmad Haris mengatakan terjadi pembocoran pembuluh darah di tengkuk kaki Dasril. Namun anehnya, pasca operasi kaki anaknya malah membusuk dan dimasukan ke ruang ICU. Ahmad Haris kemudian meminta penjelasan dari pihak RS S, namun ia mendapatkan jawaban yang tidak ia inginkan.

"Anak saya sebenarnya sehat badannya, hanya nggak bisa jalan, terus kenapa dibawa ke ruang ICU? Lagipula kaki anak saya diperban menggunakan bahan yang nggak bisa dimasukan ke udara, dan ditutup pakai selimut hangat, katanya biar cepat kering. Karena saya melihat ada yang janggal, maka saya putuskan untuk membawa pulang paksa anak saya," terangnya.

Ahmad Haris melanjutkan bahwa anaknya sempat dirawat selama delapan hari di RS S yang kini digugat olehnya. Selama itu pula ia harus membayar biaya yang tidak sedikit, yakni sekitar Rp290 juta. Selama perawatan tersebut pihak keluarga tidak diberikan informasi mengenai obat-obatan dan alat kesehatan lainnya yang diberikan kepada korban.\

Setelah korban berada di rumah, perban dibuka oleh keluarga dan ternyata kaki korban malah membusuk dan terdapat belatung di dalamnya. Akhirnya pihak keluarga mencoba mengonfirmasi kepada pihak RS S, dan sekali lagi pihak keluarga mendapatkan jawaban yang janggal.

Pihak RS S mengatakan bahwa belatung tersebut merupakan proses penyembuhan. Dan pihak RS S menyalahkan keluarga korban karena memaksa untuk membawa pulang korban yang masih dalam tahap pengobatan.

"Di rumah kami rawat sendiri anak kami, dan kata dokter panggilan menganjurkan untuk membuka perban tersebut. Alhamdulillah sekarang sudah mulai pulih walau pun tetap tidak bisa jalan," kata Ahmad Haris.

Karena pihak RS S tidak berupaya untuk melakukan perdamaian dengan keluarga korban, maka Ahmad Haris mengadukan perbuatan RS S yang diduga melakukan malapraktik kepada anaknya. Haris kemudian menggugat pihak RS S dengan tuntutan uang Rp500 miliar.

Diterangkan oleh Alexander Wass selaku kuasa hukum keluarga bahwa gugatan tersebut dilayangkan karena kerugian materi dan non materi yang diterima korban. Korban yang masih duduk dibangku SMA kini tidak bisa melanjutkan pendidikannya.

"Untuk dugaan malpraktek karena reka medis tidak diberikan ke keluarga pasien dari pihak RS S. Dokumen memang milik RS tetapi isi boleh diperlihatkan kepada keluarga, lagipula ada daging yang kita duga diambil, karena ada yang terlihat kempot dikaki korban," kata Alex.

Sunan Kalijaga yang juga sebagai kuasa hukum mengatakan akan melakukan upaya hukum apa pun demi menghilangkan malapraktik yang merugikan. "Kami akan mendatangai Komisi Perlindungan Anak, Pelindungan Konsumen dan Kementerian Kesehatan. Kami tidak akan berhenti sampai pengadilan saja," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.