Sukses

Kenapa Juri Oscar Kerap Memenangkan "Film Tentang Film"?

Birdman adalah jenis tipe film yang sejak empat tahun terakhir memenangkan piala Oscar gelar Film Terbaik.

Liputan6.com, Jakarta Semula saya menjagokan Boyhood sebagai jawara Film Terbaik Oscar tahun 2015, walau secara pribadi, saya lebih menyukai Whiplash. Namun, dugaan saya meleset. Juri Academy Awards atau Oscar 2015 memenangkan Birdman.

Boyhood saya kira bakal menang karena filmnya punya gimmick kuat sebagai unggulan juara: filmnya dibuat dengan tekun oleh sutradara (Richard Linklater) dan para pemainnya selama 12 tahun! Tidak ada yang bisa melampaui kesabaran itu tahun ini, begitu pikir saya. Whiplash, meski cerita dan eksekusinya (terutama editing) lebih asyik sekalipun, tak bisa menyamai kesabaran dan ketelatenan sineas Boyhood.

Lalu bagaimana dengan Birdman? Hm, saya pikir tadinya Birdman hanya sebuah film jenis “indie darling” alias film independen kesayangan yang, lantaran di semua festival film sebelumnya film ini masuk nominasi dan disukai kritikus film, akan memalukan bila Oscar tidak ikut mengakuinya.

Para kru dan pemain Birdman saat menerima Oscar.

Menonton filmnya, saya pikir tadinya film ini akan terasa terlalu canggih buat juri-juri Oscar—anggota AMPAS (Academy of Motion Picture arts and Sciences)—yang menurut demografi yang pernah dilansir LA Times terdiri atas 94 persen kulit putih dan 77 persen pria.

Tapi saya luput satu hal saat meramal pemenang Oscar tahun ini: Birdman adalah jenis tipe film yang sejak empat tahun terakhir memenangkan piala Oscar gelar Film Terbaik. Yakni film tentang film. Istilah kerennya film berjenis "meta-film".

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tiga "Meta Film"

Makna Kemenangan The Artist dan Argo

Tahun 2011 The Artist menjadi Film Terbaik ajang Oscar. Jika Anda ingat, film itu berkisah tentang dunia perfilman Hollywood tahun 1920-an saat film bisu hendak digantikan film suara. Tahun berikutnya yang menang Film Terbaik Oscar adalah Argo. Film karya Ben Affleck itu bercerita tentang agen CIA yang bekerjasama dengan produser film Hollywood untuk membuat film bohongan di Iran. Taktik itu digunakan untuk mengelabui pemerintah Iran dan membebaskan warga Amerika yang terperangkap di kediaman Dubes Kanada di masa ketegangan penyanderaan warga Amerika di Kedubes AS di Teheran, ibu kota Iran.

Saat Argo menang Oscar, kritikus film majalah Time, Richard Corliss menganalisis, Argo menang karena ia adalah film tentang Hollywood. Corliss mencatat Argo adalah “surat cinta dari Hollywood untuk Hollywood.” Lewat Argo, Hollywood ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka pernah juga turut berperan dalam sebuah aksi spionase sungguhan. Inilah bukti nyata Hollywood pernah jadi pahlawan sungguhan, bukan hanya pabrik penghasil film. Komedian dan presenter Stephen Colbert dengan sinis mengatakan, "Kejutan besar, Hollywood memenangkan film yang menampilkan Hollywood sebagai pahlawan."

Sedang The Artist juga sebentuk surat cinta Hollywood untuk Hollywood. The Artist mengajak kita ke masa silam, ke selewat pertengahan tahun 1920-an, saat sinema mulai menemukan bentuknya yang ajeg.

Adegan film The Artist.

The Artist menyuguhkan pengalaman sinematik yang langka. Sebuah film bisu di zaman film 3D. Dengan rasio gambar tak seperti film bioskop masa kini—The Artist tak dibuat disorot dengan format layar lebar, melainkan seperti film bisu zaman dulu.

Inti kisah The Artist adalah dunia di belakang layar film Hollywood di tahun 1920-an di masa awal datangnya film suara.

The Artist terasa dekat dan mudah dinikmati. Sebab, secara sadar, sineasnya telah menggunakan bahasa film Hollywood yang telah kita akrabi.The Artist, walau dibuat sineas Eropa, menggunakan bahasa sinema Hollywood sebetul-betulnya.

Bahasa film Hollywood sudah begitu canggih dalam hal memanipulasi reaksi psikologis penonton. Menikmati bahasa film Hollywood tak memerlukan kerja otak terlalu keras, karena hampir seluruh sistem resepsi kita sebagai penonton film, pada dasarnya sejak lahir sudah dibentuk film Hollywood. Kita sudah kenal betul bahasa film Hollywood: cepat, mudah dimengerti, menyenangkan, dan memberi penyelesaian tuntas. Istilah yang akrab: menghibur.

Makna Kemenangan Birdman

Birdman adalah versi gelap dari The Artist. Film karya Alejandro G. Inarritu ini menyoroti kiprah seorang bekas pemeran film superhero lawas ingin membangun reputasi di ranah teater. Dikatakan gelap lantaran Inarritu memberikan suguhan film yang tak gampang ditebak alurnya, mencampur imajinasi dan kenyataan si protagonis. Filmnya jadi terasa surealis.

Film macam begini sebetulnya masuk kategori “indie darling”. Tapi Hollywood rupanya lebih berselera pada film indie bila itu menceritakan soal mereka.

Michael Keaton di Birdman.

Ajang penghargaan macam Oscar sejatinya adalah sebuah tempat untuk saling memberi selamat berupa piala pada diri sendiri. Sekelompok elit di jagat perfilman secara tak langsung memberi penghargaan pada diri mereka sendiri dengan cara memberi piala pada rekan-rekannya.

Hollywood memang terlihat bias saat memenangkan film yang bercerita tentang mereka sendiri. Namun, seperti dicatat Troy Campbell dari Duke University di Huffington Post, apa yang dilakukan juri-juri Oscar itu adalah perilaku manusiawi yang biasa terjadi di bidang apa saja. Artinya, sudah jadi sifat dasar manusia untuk bertindak bias bila dihadapkan pada pilihan untuk memilih yang terasa dekat dan lekat ketimbang sesuatu yang asing dan jauh.

Kemenangan The Artist, Argo dan Birdman bisa menjadi petunjuk bagi sineas lain film jenis apa yang rasanya bakal disukai juri Oscar. (Ade/Mer)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.