Sukses

Mungkinkah Indonesia Membuat Film Superhero Sedahsyat Avengers?

Sineas kita sudah membuat film superhero berpuluh tahun lalu. Tapi kenapa kita tertinggal dari Hollywood?

Liputan6.com, Jakarta Bioskop di berbagai belahan dunia saat ini sedang didominasi film superhero keluaran Marvel Studio, Avengers: Age of Ultron. Di minggu kedua, total pendapatannya membengkak jadi USD 626 juta atau setara Rp 8,1 triliun. Angka itu diperoleh dari USD 187 juta dari Amerika dan USD 439 juta dari luar Amerika.

Dengan pendapatan seperti itu, bujet USD 250 juta atau setara Rp 3,2 triliun langsung balik dan untung hanya dalam waktu 12 hari sejak rilis 22 April.

Apa saja fakta-fakta menarik yang melibatkan perubahan karakter, senjata, perangkat, maupun perlengkapan dalam Avengers: Age of Ultron?

Siapa yang tak tergiur mendapat uang Rp 8,1 triliun hanya dalam waktu dua minggu. Tapi, pertanyaannya kemudian, mungkinkah sineas kita membuat film superhero sedahsyat Avengers: Age of Ultron?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada fakta sejarah yang membanggakan terkait film superhero kita.

Rupanya, sineas kita sudah membuat film superhero berpuluh tahun lalu. Film superhero pertama kita dibuat tahun 1954. Tahun itu hanya lima tahun setelah kita merdeka penuh tahun 1949.

Film superhero Indonesia pertama berjudul Sri Asih. Sutradaranya Turino Djunaedy dan Tan Sing Hwat. Bintang utamanya Mimi Mariani dan Turino sendiri. Produksi Gabungan Artis Film dan Garuda. Film ini adaptasi dari komik berjudul sama dengan filmnya, karya mendiang RA Kosasih. Pria yang disebut Bapak Komik Indonesia ini lebih dikenal dengan masterpiece-nya komik wayang Mahabharata dan Ramayana. Sebelum membuat dua judul itu, Kosasih membuat komik Sri Asih.

Komiknya berkisah tetang Sri Asih, wanita berkekuatan super pembasmi kejahatan. Sri Asih mampu terbang bak roket. Aslinya, Sri Asih seorang wanita kikuk tapi cantik bernama Nani. Siapa Sri Asih asli tak pernah diketahui. Rekan kerja Nina, Sambas, tak pernah lelah mencari tahu identitas asli Sri Asih. Ia curiga Nina adalah Sri Asih, tapi tak pernah bisa membuktikannya.

Sri Asih adalah komik superhero lokal yang langsung mengingatkan kita dengan “saudara”-nya di Amerika Serikat sana. Sri Asih tak lain gabungan Wonder Woman dan Superman, plus ramuan lokal (kostumnya mirip dewi khayangan).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Film Superhero Hollywood Vs Indonesia Era Lampau

Film Superhero Hollywood Vs Indonesia Era Lampau

Di tahun 1950-an saat Sri Asih lahir, Hollywood tidak sedang gandrung dengan film superhero di layar lebar. Cerita para pahlawan super sedang tersisih ke layar gelas. Di Sabtu pagi anak-anak Amerika disuguhi serial superhero. Yang paling ngetop serial Adventure of Superman dengan bintangnya George Reeves, mulai tayang pada 1952. Waktu itu, tradisi menonton film superhero bioskop di Sabtu pagi sudah ditinggalkan. Penyebabnya, mutu film superhero di bioskop tak bekembang. Padahal, kemunculan film superhero pertama di AS pada 1941 (Adventure of Captain Marvel) begitu disambut meriah. Film itu juga sempat memicu tren film-film superhero lain—termasuk versi layar lebar pertama Superman pada 1948 (diperankan Kirk Alyn).

Serial TV superhero lalu dipuncaki dengan hadirnya serial Batman & Robin dengan Batman diperankan Adam West dan Burt Ward sebagai Robin. Serial ini tayang pada 1966-1968 (kita di Indonesia menontonnya di awal 1990-an).

Syahdan, di tahun 1973, produser film Alexander Salkind dan anaknya Ilya, punya ide mengangkat Superman menjadi film layar lebar besar. Setelah digodok selama 4 tahun lahirlah Superman: The Movie pada 1978. Richard Donner dibangku sutradara. Mario Puzo, pengarang The Godfather, jadi penulis cerita. Aktor besar Marlon Brando jadi ayah Superman, Jor-El. Sang manusia super sendiri diperankan aktor tak ternama saat itu, Christopher Reeve.

Sosok Superman di film Superman: The Movie (1978).

Kehadiran Superman: The Movie menandai lahirnya film superhero modern. Dari sini film superhero digarap serius. Bujet besar digelontorkan (55 juta dolar AS, angka besar di masanya). Efek spesialnya kelas tinggi di zamannya. Adegan Superman terbang sudah memakai blue screen. Jangan lupa pula ilustrasi musik bikinan John Williams yang jadi musik tema klasik Superman. Hasilnya pun memuaskan. Orang banyak menyukainya. Film superhero bukan lagi tontonan anak-anak semata seperti serial TV tahun 1950 dan 1960-an atau film-film tahun 1940-an.

Empat tahun sebelum Superman: The Movie rilis—atau saat keluarga Salkind masih berjuang mewujudkan mimpi membuat film layar lebar superhero—kita sudah mendahului Hollywood. Pada 1974, sineas kita melahirkan Rama Superman Indonesia (sutr. Frans Totok). Kisahnya tentang Andi (Boy Shahlani), remaja penjaja koran yang mendapat jimat kupu-kupu emas. Bila jimat itu dicium, ia bisa berubah jadi superhero yang bisa terbang, berkostum bak Superman, bernama Rama (diperankan August Melasz).

Film Gundala Putra Petir (dok. Kaskus)

Selang 7 tahun kemudian, sineas kita membuat Gundala Putera Petir (1981, sutr. Lilik Sudijo). Kisahnya seputar Sancoko (Tedy Purba), seorang ilmuwan, berubah jadi superhero bernama Gundala. Awalnya, Sancoko diam-diam menyuntikkan cairan anti petir. Hasilnya luar biasa. Tubuhnya jadi tahan arus listrik dan punya kekuatan super, berkat bimbingan gurunya Dewa Petir (Pitrajaya Burnama).

Film superhero lokal lahir berkat kepopuleran komik superhero di era ’70-an. Saat itu jagad komik kita disuguhi berbagai jenis komik berkisah superhero macam Gundala, Godam, dll. Selain Gundala, ada Darna Ajaib (1980, Lilik Sudijo) yang berkisah tentang anak ajaib berkekuatan super. Lalu hadir pula Manusia 6 Juta Dollar (1981, Ali Shahab), versi Warkop DKI dari serial The Six Million Dollar Man dan Gadis Bionik (1982, Ali Shahab) dengan Eva Arnaz sebagai versi lokal Bionic Woman.

3 dari 4 halaman

Era Mademe X dan Garuda Superhero

Era Mademe X dan Garuda Superhero

Setelah 1980-an sineas kita berhenti membuat film superhero. Film jenis ini baru dibuat lagi selewat dekade 2000-an. Tahun 2010 Nia DiNata memproduksi Madame X dengan Lucky Kuswandi sebagai sutradara.

Amink berperan sebagai Adam, penata rambut yang kemayu. Ia menjadi superhero berjuluk Madame X yang membela kaum minoritas.

Adegan film Madame X (2010)

Madame X sebetulnya hanya meminjam plot cerita superhero untuk menjelaskan pesannya yang pro kaum minoritas macam LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) bisa tersamarkan. Bumbu komedi yang mengisi film ini juga kian mengaburkan genre superhero yang diusungnya.

Film superhero sesungguhnya baru rilis lagi awal tahun ini. Garuda Superhero rilis 8 Januari kemarin dengan x.Jo sebagai sutradara. Film ini diklaim sebagai "film Indonesia pertama yang menggunakan teknologi CGI.” Namun, hasil olahan CGI-nya tentu masih kalah jauh dari Hollywood.

Bagaimana kualitas CGI ala Garuda Superhero? Saya belum nonton filmnya. Tapi seorang kawan yang menulis ulasannya di situs tetangga mengetik begini:

Sosok Garuda seperti bentuk modern dari Gundala Putra Petir atau juga gabungan Gundala dengan Robocop.

Hampir 95% pengambilan gambar film ini dilakukan di dalam studio dengan latar bluescreen, untuk kemudian latar tersebut disulap oleh para ahli animasi hingga menghasilkan gambar latar yang lain yang semestinya dapat membuat kita terkagum-kagum. Namun, pemilihan bluescreen di zaman sekarang saja sudah tak lazim, sebab di negara yang peradabannya lebih maju dari kita, penggunaan bluescreen sudah lama tergantikan oleh greenscreen yang dianggap lebih menunjang seiring perkembangan teknologi kamera digital yang lebih bisa menangkap obyek berlatar hijau jauh lebih terang, dan meminimalkan color spill yang dapat tampak di hasil akhir. Semakin canggih teknik CGI yang digunakan, semakin tak terlihat color spill-nya bahkan bisa tak nampak sama sekali. Color Spill adalah refleksi warna dari latar belakang yang terletak pada sisi dari latar depan –inilah yang membuat karakter-karakter di film ini tampak tidak menyatu dengan latar di belakangnya.

Di film ini semua adegan dipenuhi color spill, dan itu sebenarnya masih bisa termaafkan bila saja para kru `ahli photoshop` film ini masih mau berusaha sedikit saja lebih niat menggarap kerjaan mereka. Banyak sekali latar tempelan berupa foto yang dijejalkan begitu saja, gambar bangunan, landscape, dan parahnya gambar-gambar itu tak beresolusi cukup tinggi hingga kita bisa melihat pixel-nya pecah dengan jelas.”

Cerita dan skenario filmnya pun mengecewakannya. Hingga ia kemudian menyimpulkan, "Di era gempuran film superhero Hollywood penuh efek khusus yang luar biasa semacam Avengers, Guardians of the Galaxy, Captain America dan lain-lain, rasanya anak kecil di bawah umur tujuh tahun pun akan sulit menyukai film ini."

4 dari 4 halaman

Siap Investasi Triliunan Rupiah?

Siap Investasi Triliunan Rupiah?

Garuda Superhero telah gagal memikat kita. Alhasil, filmnya pun gagal meraih pendapatan tinggi apalagi mampu bersaing dengan film superhero bikinan Hollywood.

Di sini pula sineas kita bertemu tantangan sesungguhnya. Bila sineas kita nekat ingin bikin film superhero, yang menjadi saingan bukan lagi film bikinan sineas negeri sendiri, melainkan Hollywood. Masyarakat kita sudah begitu akrab dengan film-film superhero Hollywood. Harga tiket antara film Hollywood dengan film kita pun sama.

Hollywood telah paham betul film superhero bakal meraup untung banyak. Makanya mereka berani berinvestasi sampai ratusan juta dollar AS. Masalahnya, apa produser dan investor kita berani berinvestasi bikin film hingga triliunan rupiah?

Yang patut dipahami, film blockbuster Hollywood kini tak lagi menyasar pasar Amerika sebagai target utama. Pasar-pasar luar AS seperti Tiongkok, Rusia, Eropa dan Negara Asia lain menghasilkan jumlah penonton lebih banyak bagi Hollywood. Saat ini 70 persen pemasukan Hollywood bergantung dari luar AS.

Apa saja fakta-fakta menarik yang melibatkan perubahan karakter, senjata, perangkat, maupun perlengkapan dalam Avengers: Age of Ultron?

Ini artinya, sejak awal film-film Hollywood tak menyasar pasar negeri sendiri, tapi juga seluruh dunia.

Maka, bila film nasional kita ingin untung besar, yang disasar tak cuma pasar dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Nah, untuk bisa diterima berbagai pasar luar negeri, kualitasnya harus bisa bersaing dengan Hollywood.

Pada titik ini sineas kita bertemu buah simalakama. Bikin film dengan bujet seadanya, bakal menghasilkan film yang seadanya pula. Bikin film berbujet besar, risiko tidak laku juga sangat besar.

Seorang kawan lain yang menjadi produser film pernah mengatakan pada saya, rata-rata jumlah penonton sebuah film Indonesia saat ini adalah 140-an ribu. Dengan angka penonton seperti itu, bujet rata-rata film Indonesia agar balik modal sekitar Rp 3 miliar. Bayangkan dengan film superhero Hollywood, Avengers: Age of Ultron, misalnya, yang dibuat dengan bujet Rp 3,2 triliun.

Salah satu film Indonesia termahal hingga saat ini dipegang The Raid 2: Berandal (2014) dengan bujet Rp 54 miliar. Angka itu masih jauh di bawah film superhero Hollywood.

Lalu, jika sudah begitu, mungkinkah kita membuat film superhero sedahsyat bikinan Hollywood? Asal ada yang bersedia berinvestasi hingga triliunan rupiah hal itu bukan tak mungkin. Tapi, masalahnya, adakah orang itu? ** (Ade)

Baca juga:

Bagaimana Marvel Merancang Avengers: Age of Ultron Jadi Sukses?

INFOGRAFIS: Film Superhero versi Indonesia

Ini 5 Superhero dari Bollywood

10 Fakta yang Bikin Avengers: Age of Ultron Semakin Keren

Film Indonesia Mampu Bersaing dengan Film Blockbuster Hollywood?

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini