Sukses

Jack Lesmana, Sang Pembuka Jalan

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Peribahasa ini pantas disandang Jack "Jazz" Lesmana. Musisi kelahiran 18 Oktober 1930 ini, menorehkan namanya sebagai pionir jazz Tanah Air.

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Peribahasa ini pantas disandang Jack "Jazz" Lesmana. Musisi kelahiran 18 Oktober 1930 ini, menorehkan namanya sebagai pionir jazz Indonesia. Sebagai pelopor sekaligus musisi, Jack mengabdikan hampir seluruh hidupnya bagi musik, khususnya jazz. Berkat dedikasinya, jazz kini merakyat dan diterima bukan sebagai musik pendatang di Indonesia.

Jack terlahir dari ayah berdarah Madura, dan ibu berdarah campuran Jawa-Belanda. Awalnya, Jack muncul ke dunia dengan nama Jack Lemmers. Namun sejak dikeluarkannya Undang-Undang Kewarganegaraan oleh Presiden Pertama Indonesia Soekarno, Jack mengganti nama belakangnya, menjadi Lesmana.

Jack beruntung dibesarkan dalam keluarga pecinta musik. Ini membuat dirinya mudah belajar musik. Ayahnya adalah penggemar biola, sementara sang ibu pernah menjadi penyanyi dan penari dalam kelompok opera. Jack yang dari kecil sudah dijejali musik, piawai bermain gitar di usia sepuluh tahun. Saat genap 12 tahun, Jack mulai merambah dunia jazz. Jack yang masih belia, tergabung dalam sebuah grup musik jazz bernama Dixieland.

Nama pria asal Jember, Jawa Timur itu, mulai dikenal luas pada era 1960-an. Jack membentuk The Indonesia All Stars bersama empat rekannya, Buby Chen, Maryono, Kibound Maulana, dan Benny Mustafa. Terlebih, grup musik ini sukses di berbagai pentas internasional, termasuk New York Fair, Amerika Serikat.

Pada 1979, Jack sekeluarga hijrah ke Australia. Selain menemani anaknya Indra Lesmana belajar musik, ia juga mengajar di sebuah sekolah musik di Negeri Kangguru itu. Di mata anak-anaknya, Jack adalah figur ayah yang berhasil menularkan darah seni ke anak-anaknya. Salah seorang di antaranya adalah Indra yang mendapat beasiswa dari Jazz Departement Australia dan tinggal di sana selama lima tahun sebagai pianis muda.

Jack selalu punya gagasan kreatif dalam mempopulerkan jazz. Pernah suatu ketika Jack merasa gairah jazz lokal saat itu menurun. Tanpa pikir panjang ia menggelar pergelaran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Melalui acara tersebut, Jack mengajak masyarakat menengok kembali musik jazz yang ia bawakan pada era 1960-an.

Berkat dedikasinya, Jack menerima sejumlah penghargaan jazz sepanjang kariernya. Prestasi tersebut membuktikan bahwa dirinya tidak hanya sekadar musisi yang handal dalam bermusik. Pun ia berperan besar mengembangkan jazz di masyarakat. Berkat jasanya, jazz mampu menyusup menjadi sesuatu yang tak asing di Tanah Air.

Sebagai musisi, bisa dikatakan dirinya tidak pernah menunggu undangan acara musik. Sifatnya yang kreatif selalu melahirkan ruang untuk mengekspresikan musik yang ia bawa. Di kalangan musisi, Jack terkenal mempunyai pergaulan yang luas. Sifatnya yang punya kemauan belajar tinggi juga patut dijadikan contoh bagi musisi lain. Dirinya bahkan tidak segan-segan mengundang musisi jazz luar negeri singgah di rumahnya hanya untuk berdiskusi. Rumahnya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, selalu terbuka 24 jam bagi siapa pun untuk berkumpul dan berkreasi.

Setelah bekerja lebih dari setengah abad, Jack tak mampu menahan ganasnya diabetes yang diderita. Sang maestro tutup usia pada 17 Juli 1988, di rumah sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Jack meninggalkan seorang istri dan empat orang anak. Sejak saat itu, Indonesia kehilangan salah seorang musisi sejati yang mempunyai karya besar dalam industri musik.(Asw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.