Sukses

Film Komersial Indonesia dan Keterjebakannya dalam Inkonsistensi

Film-film komersial Indonesia kebanyakan belum mempunyai kualitas baik.

Liputan6.com, Jakarta "Film suatu bangsa mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistik lainnya."

     --Siegfried Kracauer--

Asrul Sani, sastrawan dan sutradara asal Indonesia, pernah menyatakan bahwa sebagian besar film Indonesia bercerita di negeri antah berantah. Ungkapannya tentang film Indonesia ini didasari oleh kecenderungan untuk bertolak belakangnya latar belakang Indonesia yang diceritakan dalam film dengan kenyataan pada lapangan.

Salim Said pun menyatakan dalam bukunya, Pantulan Layar Putih, bahwa film di Indonesia cenderung berusaha untuk menembak selera penonton, bukan mempersoalkan diri sendiri.

Diputar di bioskop-bopskop megah di hampir seluruh wilayah di Indonesia, film komersial umumnya lebih mudah diakses publik, dan mempunyai jumlah penonton yang lebih banyak dibandingkan dengan film-film non-komersial. Namun kenyataannya, film-film Indonesia yang lebih mudah dan lebih banyak dinikmati oleh masyarakat ini belum tentu mempunyai kualitas yang lebih baik daripada film-film non-komersial.

Film-film non-komersial Indonesia nyatanya banyak yang jujur dan konsisten dalam membahas dan melatarbelakangi filmnya dengan realita-realita yang ada di Indonesia. Sebut saja sutradara Lucky Kuswandi yang sejak film pertamanya, Still (2005) hingga film terbarunya, The Fox Exploits The Tiger’s Might (2015), selalu membahas mengenai kaum minoritas, terutama berkenaan dengan LGBT dan masyarakat Tionghoa di Indonesia.

 

Begitu pula dengan film terbaru Eddie Cahyono, Siti (2014), yang secara konteks sosial membahas mengenai beban yang dipikul dan batasan-batasan yang dihadapi oleh kaum perempuan.

Sementara itu, film-film komersial Indonesia seringkali seperti tak punya kapasitas untuk membahas realita dengan lebih mendalam. Ditelusuri ke setahun belakang, film The Right One (2014) karya Stephen Odang yang berlatar tempat di Bali berusaha menopang pariwisata lokal lewat konsepnya.

Adegan film The Right One. (dok. istimewa)

Hanya saja, dengan kedua karakter utamanya yang merupakan warga lokal setempat, film ini menjadi tidak wajar karena menilik Bali lewat kacamata turis yang berjarak: saling berbicara dalam bahasa Inggris, karakternya menggunakan nama-nama orang Barat, dan bertingkah selayaknya turis dengan memegang brosur panduan ketika menonton tari kecak.

Film-film komersial Indonesia senang menggunakan prinsip audience approach dengan memasukkan unsur-unsur back to basic seperti drama, komedi, horor dan seks memang seringkali membahas persoalan diri sendiri sebatas kulitnya saja atau bahkan bertolak belakang dengan keadaan Indonesia sendiri. Namun, apakah usaha untuk melulu menebak selera penonton dan berakhir dengan menelantarkan budaya sendiri ini adalah hal yang salah?

Charlie Chaplin adalah salah satu sutradara yang berusaha membuat film sesuai dengan selera penontonnya. Ia berusaha mengamati tingkah laku dan sifat manusia. Pengamatannya berbuah pada elemen kejutan yang tertuang pada opening scene film The Immigrant (1917), yaitu ketika Chaplin mengeluarkan setengah badannya keluar kapal yang ia naiki, seakan-akan ingin bunuh diri, padahal setelah itu diperlihatkan bahwa ia sedang memancing ikan.

Lalu, apakah prinsip audience approach yang dianut oleh film-film komersial Indonesia juga didasari pengamatan secara saksama terhadap tingkah laku manusia?

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Wajah Film Indonesia Kontemporer

Mungkin jawabannya adalah, ya, tentu saja, ditonton oleh ratusan ribu bahkan jutaan penduduk Indonesia, tidakkah itu menunjukkan bagaimana film tersebut telah memenuhi kebutuhan rohaniah penontonnya?

Nyatanya hingga tahun 2015 ini, rasanya masih adil jika dikatakan film-film komersial yang diputar di bioskop, terlepas dari jumlah penontonnya, masih terjebak pada masalah kekonsistenan. Pada akhir 2014, film Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) muncul ke layar lebar menawarkan sebuah cerita yang tak biasa: pasangan gay, perselingkuhan yang diangkat dari sisi karakter protagonis, dunia paralel. Di tengah-tengah film-film layar lebar lainnya yang tak jauh-jauh dari tema Islami, tokoh inspiratif, dan horor, tentu premis film Supernova: KPBJ ini menonjol di antara film-film lainnya.

Namun, disayangkan Supernova: KPBJ malah terlalu fokus pada drama njelimet antar tokohnya sambil disisipkan dialog-dialog antarmanusia yang lebih seperti membaca puisi saking puitisnya ketimbang berdialog. Juga wardrobe dan properti-properti mewah seperti kapal layar yang disyut sedang berlayar di lautan nan cantik tanpa dasar dan fungsi yang jelas, bahkan melenceng dari inti filmnya sendiri. Usaha-usaha lebih untuk menunjukkan keseriusan film tersebut digarap malah menjadi tidak tepat dan berlebihan.

Sejumlah blogger film mencuit di media sosial berkomentar kalau trailer Supernova terasa mirip trailer film 50 Shades of Grey.

Hal-hal tersebut ironisnya terjadi lagi pada film-film Indonesia tahun 2015 yang bahkan meraih jumlah penonton hingga jutaan. Surga yang Tak Dirindukan (2015) meraih penonton dengan jumlah tertinggi hingga bulan November dengan total 1.523.570 penonton. Surga yang Tak Dirindukan tak dapat dipungkiri masih mempunyai banyak kelemahan di sana sini.

Logika Surga yang Tak Dirindukan tak dikonstruksi dengan kokoh: mengapa seorang wanita yang sedang berupaya bunuh diri dengan mudahnya jadi mengurungkan niatnya sehabis diembel-embeli calon suami? Kesulitan Prasetya perihal pekerjaannya juga tak ditunjukkan dengan meyakinkan, hanya didialogkan dengan kata-kata sifat seperti “Proyek ini mesti dikerjakan sekarang”, “Deadline proyek sudah telat” (proyek apa? Masalah ketertelatannya karena apa?).

Belum lagi iklan-iklan alias product placement yang bertebaran, sehingga malah mengganggu, dan scene ibadah yang kekhusyukannya malah dimelodramatikan.

Memang, sih, ini film religi, tetapi coba tengok film seperti Le Grand Voyage (2004) atau Mencari Hilal (2015) yang dengan kesederhanaan ceritanya justru menampilkan suatu karya audiovisual naratif yang padat dan berisi.

Adegan film The Wedding and Bebek Betutu. (dok. Awan Sinema Kreasi)

Ini pula lah yang terjadi dengan Comic 8: Casino Kings Part 1 (2015), yang merupakan film terlaris kedua tahun ini setelah Surga yang Tak Dirindukan dan The Wedding and Bebek Betutu (2015). Keduanya mempunyai masalah yang kurang lebih sama: bertele-tele.

Alasan Comic 8: Casino Kings dibagi menjadi dua film menurut sutradaranya, Anggy Umbara, adalah karena masalah durasi yang terlalu panjang untuk dijadikan satu film. Padahal banyak scene-scene yang point taken, tapi tetap diulang-ulang, seperti salah satunya adegan manusia dimakan buaya di awal film.

The Wedding and Bebek Betutu pun masih terjebak dengan mindset “sebuah film yang banyak karakter manusianya harus saratlah pula dengan dialog.” Tak ada habis-habisnya dialog yang diucapkan dari satu karakter ke karakter lainnya. Semuanya punya jatah untuk bicara, tapi saking lamanya dan berlarut-larut akhirnya malah jadi tak terfokus. Belum lagi gaya bicara hampir semua karakter yang tak jauh berbeda, sama-sama suka membelalakkan mata dan menaikkan intonasi bicara saking semangatnya, yang malah menjemukan penonton.

Keutuhan dan ketersampaian cerita kedua film ini lagi-lagi malah dikorbankan dan membuat film tidak konsisten, demi mem-point-out kemewahan seting dan ketersohoran aktor/aktrisnya.

Wawasan perfilman seseorang mempengaruhi selera film yang dimiliki orang itu. Wawasan perfilman masyarakat Indonesia yang masih mudah dibuat puas dengan hanya disodorkan visual effects mewah nan mahal dan dibalut dengan isu-isu kontemporer, padahal hanya dibahas sebatas di permukaan mengindikasikan bahwa membuat film berprinsip audience approach tidak lagi berperihal mengenai seberapa cermat observasi yang dilakukan terhadap tingkah laku manusia, tetapi lebih kepada bagaimana cara mengendalikan selera penonton.

Tidaklah mustahil jika ada film yang diproduksi di Indonesia dan disutradai oleh orang Indonesia bercerita tentang sesuatu yang sama sekali bukan mengenai Indonesia. Namun, lebih dalam dari itu, kekonsistenan mengenai apa yang ingin dibawa oleh film-lah yang memegang kunci penting.

Kutipan Kracauer seakan-akan ingin memberikan statement bahwa bukan melulu realita suatu bangsalah yang tecermin lewat film-film di negeri sendiri, namun lebih dalam dari itu: mental bangsa itu sendiri, yang bisa dilihat dari film macam apa yang menjadi asupan tontonan sebagian besar masyarakatnya.**

Permata Adinda Priyadi, Mahasiswa Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung, bergabung di komunitas Forum Film Indonesia.

(Adp/ade)**

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.