Sukses

6 Film yang Mengubah Dunia

Film yang hebat, mampu menciptakan perubahan. Tak hanya untuk satu orang, tapi seluruh dunia.

Liputan6.com, Jakarta Film dibuat bukan hanya untuk menghibur. Kadang, karya seni ini diciptakan untuk menyampaikan pesan. Di kali yang lain, film dirangkai untuk memperlihatkan sudut pandang baru bagi penontonnya.

Film-film terbaik, yang dibuat dengan hati, niat, dan visi, biasanya berhasil memukau dan "menangkap" perhatian penontonnya. Tak jarang, film-film ini juga berhasil meninggalkan sesuatu bagi mereka yang menonton, bahkan sampai lama setelah layar ditutup.

Tak heran jika kemudian, beberapa film berhasil membawa perubahan--tak hanya bagi satu atau dua orang--tapi sampai satu dunia.

Seperti yang dikatakan oleh pembuat film wanita pertama dari Saudi Arabia, Haifaa Al Mansour, "Seni bisa menyentuh manusia, dan membuat mereka membuka diri." Tahun 2012 lalu, Haida Al Mansour memenangkan penghargaan untuk filmnya, Wadja.

Mengutip weforum.org, beberapa film di bawah ini memiliki pesan yang sangat kuat, mereka berhasil membawa perubahan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

1. The Day After Tomorrow (2004)

Film yang dibintangi oleh Jake Gylanhaal dan Dennis Quaid ini bercerita tentang zaman es kedua. Diceritakan gelombang tidal menghantam kota New York, tornado menerpa Los Angeles, dan hujan batu menghujam Tokyo.

Walaupun landasan ilmiah di balik film ini banyak ditentang oleh para ahli klimatologi, film ini masih menjadi salah satu film tersukses saat itu.

Menurut para peneliti dari Yale, film ini juga berhasil membantu meningkatkan kesadaran tentang perubahan iklim dan mendorong orang untuk mempertimbangkan tentang aksi yang bisa mereka lakukan untuk mencegah krisis lingkungan.

"Film ini sepertinya berhasil memiliki pengaruh yang kuat terhadap persepsi penonton tentang pemanasan global," demikian para akademisi itu menyimpulkan.

3 dari 7 halaman

2. Philadelphia (1993)

Film yang bercerita tentang seorang dengan AIDS ini berhasil membuat Tom Hanks--bintang utamanya--memenangkan Piala Oscars. Seperti dikatakan oleh weforum, akan sulit bagi seseorang yang tidak hidup saat epidemik AIDS muncul di awal 1980-an untuk memahami stigma, dan kesalahpahaman yang menyelimuti penyakit itu.

Pada tahun 1985, sebuah poling di AS mengungkapkan fakta 51 persen warga AS merasa mereka dengan AIDS harus dikarantina, dan 15 persen lainnya mengatakan mereka harus ditandai dengan tato.

Ketika Philadelphia dirilis pada tahun 1993, film ini membantu mengubah persepsi publik. Film ini bercerita tentang seorang pengacara muda gay (Tom Hanks), yang dipecat dari firmanya setelah diketahui dia mengidap AIDS.

Philadelphia juga adalah film Hollywood pertama yang membahas tentang isu AIDS dan homofobia. Saking kuatnya pesan yang disampaikan oleh film ini, Philadelphia membuat orang mulai mendiskusikan dan membahas isu ini.

"Film ini berhasil membuat orang membicarakan HIV dengan cara yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya," ujar aktivis AIDS Gary Bell.

4 dari 7 halaman

3. Super Size Me (2004)

Selama satu bulan, sutradara Super Size Me, Morgan Spurlock, hanya memakan makanan dari McDonald's. Setiap hari, Spurlock tiga kali mengonsumsi makanan dari restoran cepat saji ini. Dia sudah mencoba semua jenis makanan yang ada di menu, setidaknya satu kali.

Setelah eksperimennya berhasil, berat badan Spurlock meningkat sampai 13 kg, kadar kolesterolnya melonjak tinggi, dan dokternya mengatakan, Spurlock memiliki hati selayaknya seorang alkoholik.

Film dokumenter ini memicu debat sehubungan dengan makanan cepat saji--menyangkut semua hal. Mulai dari bahayanya untuk kesehatan, sampai bagaimana makanan ini dipasarkan untuk anak-anak.

Beberapa minggu setelah film ini rilis, McDonald's menghilangkan menu super size-nya, dan mulai memperkenalkan pilihan yang lebih sehat dalam menunya. Walaupun begitu, restoran AS itu membantah apa yang mereka lakukan adalah reaksi atas dokumenter Spurlock tadi.

5 dari 7 halaman

4. Selma (2014)

Film yang soundtrack-nya berhasil membuat John Legend dan Common memenangkan Piala Oscar ini bercerita tentang tokoh kulit hitam AS, Martin Luther King Jr dan kampanyenya untuk mendapatkan hak pilih yang setara. Selma juga berhasil memenangkan gelar film terbaik (Best Picture) di 87th Academy Awards.

Film ini dirilis 50 tahun setelah kejadian aslinya terjadi, namun muncul karena kembali munculnya ketegangan rasial di AS. Kekerasan terhadap penduduk kulit hitam AS memunculkan gerakan baru yang menuntut semua orang untuk memahami, hidup penduduk kulit hitam juga sama berartinya (black lives matter).

Itulah yang membuat para bintang dan kru film ini ingin terlibat dengan gerakan tadi, dan mencoba mencari cara agar menarik perhatian pada isu yang mereka usung.

Selma juga dibuat untuk menekankan, walaupun sudah banyak proses berlangsung sehubungan rasisme di AS, namun masih banyak PR yang harus diselesaikan oleh penduduk negeri Paman Sam itu.

"Kamu menonton film itu dan kamu akan paham bagaimana rasanya menjadi seseorang (berkulit hitam) di tahun 1965, merasa terkejut melihat yang terjadi di TV, karena hal itu juga terjadi padamu," ujar sang sutradara, Ava DuVernay.

Hal ini dituturkannya sehubungan dengan kematian seorang pemuda kulit hitam tak bersenjata yang ditembak polisi.

6 dari 7 halaman

5. Blackfish (2013)

Pada tahun 2015, SeaWorld mengumumkan bahwa mereka menghentikan show kontroversial mereka, "Shamu Show" dan menggantinya dengan "pengalaman paus orca yang baru." Show baru SeaWorld ini akan berfokus pada kelakukan natural ikan paus.

Walaupun pihak SeaWorld tidak berkomentar banyak, keputusan mereka hampir dipastikan sebagai akibat dari protes publik yang diciptakan oleh film dokumenter Blackfish yang rilis di tahun 2013.

Film ini menarik perhatian tentang bahayanya menangkap ikan paus--baik untuk ikannya juga pelatihnya. Di tahun-tahun setelah peluncuran film ini, Blackfish berhasil menurunkan reputasi SeaWorld, bahkan sampai menurunkan jumlah pengunjung dan harga sahamnya.

7 dari 7 halaman

6. A Girl in the River (2015)

Setiap tahunnya, sekitar 5000 wanita di seluruh dunia diambil nyawanya dengan cara yang disebut "honour killings". Honour killing adalah pembunuhan yang dilakukan oleh anggota keluarga perempuan tadi (biasanya ayah, saudara laki-laki, atau paman) karena perempuan tadi dianggap telah menodai kehormatan keluarga mereka.

Film A Girl in the River, yang dibuat oleh pemenang piala Oscar sekaligus Young Global Leader, Sarmeen Obaid-Chinoy, bercerita tentang Saba Qaisera. Saba Qaisera adalah seorang wanita muda yang berhasil selamat dari percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh ayahnya sendiri.

Apa kesalahan Saba? Dia hanya jatuh cinta pada orang yang salah.

Bahkan setelah peristiwa tersebut, Obaid-Chinoy mendapati, ayah Saba sama sekali tidak melihat kesalahan dari apa yang ia coba lakukan.

"Dia berasa dibenarkan untuk mencoba membunuh putrinya sendiri, dan tidak bisa memahami bahwa perbuatannya itu salah. Dia merasa itu adalah tugasnya sebagai ayah dan suami untuk melindungi kehormatan keluarga mereka. Kehormatan yang dinodai oleh Saba karena jatuh cinta dan menikah."

Untungnya tidak semua orang setuju dengan ayah Saba tadi. "Minggu ini, perdana menteri Pakista mengatakan, dia akan mengubah hukum sehubungan dengan honour killing setelah menonton film ini," ujar Obaid-Chinoy di pidato penerimaan piala Oscar-nya.

"Inilah kekuatan dari film."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.