Liputan6.com, Jakarta Menonton bagian awal Edge of Tomorrow mudah untuk bersikap skeptis filmnya akan jatuh jadi sebuah aksi fiksi ilmiah biasa.
Filmnya membayangkan di suatu masa dunia diinvasi makhluk alien jahat. Hampir seluruh tanah Eropa dikuasai alien yang diberi nama mimic. Melihat peta wilayah Eropa di layar yang dikuasai alien dicat merah, saya membayangkan seperti melihat Nazi Jerman menguasai tanah Eropa di masa Perang Dunia II.
Manusia kemudian menyiapkan serangan balik untuk merebut kembali Eropa. Pendaratan besar-besaran disiapkan di pantai Normandia, di Prancis. Di sini kita berkenalan dengan seorang perwira Amerika bernama William Cage (Tom Cruise). Cage seorang tentara yang juga bintang televisi. Ia hanya pintar omong, tak berani bertempur. Namun sang jenderal dari angkatan bersenjata Inggris memerintahnya ikut penyerbuan besar-besaran melawan alien. Cage hendak kabur, tapi keburu tertangkap.
Advertisement
Maka, Cage pun ikut penyerbuan melawan alien ke Normandia. Sampai di sini, terasa dejavu dengan Saving Private Ryan (1998), sebuah film perang tentang PD II karya Steven Spielberg yang dibintangi Tom Hanks. Film itu mengawali kisah dengan adegan dahsyat penyerbuan Sekutu ke Pantai Normandia atau yang lebih dikenal sebagai peristiwa D-Day.
`Edge of Tomorrow` awalnya seperti sekadar memindahkan peristiwa D-Day ke zaman perang masa depan. Nazi menjadi alien di sini. Saat itulah saya berprasangka buruk, kalau filmnya hanya metafora Perang Dunia II seperti halnya Starship Troopers (1997) adalah versi lain All Quiet on the Western Front (1930) yang mengangkat Perang Dunia I, apa istimewanya `Edge of Tomorrow`?
Saya keliru. `Edge of Tomorrow` adalah sebuah tontonan istimewa dari Tom Cruise, aktor Hollywood terbesar saat ini. Saya seharusnya bisa menduga, Cruise di usia matangnya kini tidak akan menyuguhkan sesuatu yang biasa-biasa saja.
Syahdan, di pantai Normandia, kita melihat William Cage, yakni si Tom Cruise, terbunuh oleh alien mimic. Jagoannya mati di awal film? Saya terperanjat. Saya lebih terperanjat lagi ketika kemudian melihat Cage terbangun, mengulang peristiwa sebelum kematiannya.
Oke, ternyata ini bukan film perang melawan alien biasa yang meminjam metafora Perang Dunia II. Film ini mengambil unsur yang ada di film Source Code (2011), tentang tentara yang mengulang lagi kejadian sebelum sebuah pemboman demi mengungkap si pelaku, atau juga Groundhog Day (1993), film komedi unik yang dibintangi Bill Murray, tentang penyiar TV yang "dikutuk" terbangun menjalani hari yang sama terus-menerus.
Sutradara Doug Liman dengan penulis skenario Christopher McQuarrie bersama duo bersaudara Jez dan John-Henry Butterworth (mengadaptasi novel ringan penulis Jepang Hiroshi Sakurazaka, All You Need Is Kill) menyuguhkan tontonan yang menjanjikan.
Musim panas tahun lalu kita disuguhi Elysium, film fiksi ilmiah karya Neil Blomkamp (sebelumnya membesut District 9). Dalam Elysium, Blomkamp membayangkan di masa depan jurang perbedaan si kaya dan si miskin di Bumi sangat lebar. Sebanyak 99 persen penduduk tinggal di Bumi yang penuh polusi, kelebihan penduduk, dan miskin; sedangkan 1 persen sisanya—bahkan mungkin lebih kecil dari jumlah itu—tinggal di atas Bumi dalam sebuah stasiun ruang angkasa bernama Elysium.
Di Elysium penduduk Bumi yang super kaya hidup sangat mewah. Tidak hanya kehidupan mereka terjamin, namun juga Elysium memiliki ranjang ajaib yang cukup tiduran di situ, maka akan ada sinar yang memindai tubuh menjadi muda dan segar kembali. Ranjang ajaib ini juga bisa menyembuhkan segala penyakit. Segala sel yang rusak, akibat kanker misalnya, akan diganti sel baru.
Metafora kehidupan si kaya dan si miskin versi Blomkamp terasa janggal ketika persoalannya bisa dipecahkan dengan amat sederhana, misalnya, kenapa "ranjang ajaib" tak juga dibuat di Bumi dan dengan begitu persoalan si kaya-si miskin usai dan seluruh dunia bisa hidup damai, tak ada lagi yang jatuh sakit. Namun, Blomkamp membuat persoalan lebih ruwet dengan memasukkan tokoh yang diperankan Matt Damon sebagai "Sang Juru Selamat" atau Messiah.
Liman (membuat Mr. & Mrs. Smith dan The Bourne Identity) sepertinya belajar dari kesalahan `Elysum`. Memang bagus membuat komentar sosial zaman kiwari berwujud metafora fiksi ilmiah, tapi bila metafora tersebut terkesan hanya menyederhanakan persoalan atau bikin solusi yang ruwet, pesan kritik sosialnya tak sampai.
`Edge of Tomorrow` tak hendak sok pintar menyuguhkan pesan tersirat di balik film. Filmnya hanya hendak bermain-main dengan bentuk cara bertutur baru. Menontonnya, kita seperti sedang memainkan sebuah game di komputer, handphone, atau console game. Kita seolah menjadi Tom Cruise di film ini di mana kita memainkan game yang tokohnya mati di tengah permainan dan harus mulai main dari awal lagi. Saat kita semakin sering memainkannya, kita makin pintar dan pada akhirnya, syukur-syukur menang sampai tamat.
Menonton `Edge of Tomorrow` kita tak hendak dibuai oleh Tom Cruise yang kian matang dan tampan. Sejatinya, bukan Cruise bintang utama film ini, ataupun Emily Blunt yang cantik dan perkasa yang jadi lawan mainnya. Saya bersyukur Cruise tak memperlihatkan egonya ingin terlihat yang paling menonjol di film ini. Bintang utama film ini adalah kisahnya yang membuat penontonnya merasa disuguhi tontonan cerdas. Lain tidak.(Ade/Feb)