Sukses

Film Hong Kong Dulu dan Kini

Bagaimana film Hong Kong merajai sinema dunia dulu dan kini, dan di mana posisi perfilman kita?

Liputan6.com, Jakarta "Hotel Borobudur pertengahan bulan Juni 1975. Dan tempat mewah di tengah kota Jakarta itu mendadak berubah jadi 'kompleks Tionghoa', ketika pesta film Asia ke-21 sedang sibuk-sibuknya berlangsung.

"Di tengah-tengah seorang tua yang masih kelihatan kukuh, tersenyum kesana kemari. Itulah Run Run Shaw, si pemilik Shaw Brothers, orang kaya yang seluruh hidupnya berkisar di sekitar film. Kepada dialah terutama popularitas aktor-aktris Mandarin itu harus dipulangkan. Bukan cuma bintang-bintang tamu dari negara lain yang merasa iri kepada orang-orang yang datang dari HongKong dan Taiwan itu, pihak tuan rumah pun merasa kematian angin."

Keterangan foto: Majalah Tempo edisi laporan utama tentang film Mandarin. (dok. Tempo)

Demikianlah majalah Tempo edisi 26 Juli 1975 mengawali penggambaran serbuan film Mandarin—sebuah sebutan generik untuk film-film dari Hong Kong, Taiwan, maupun Tiongkok daratan—di Indonesia pada tahun 1970-an. Majalah Tempo menyebut kedatangan bintang-bintang serta produser film Mandarin sebagai “tamu kita yang gemerlapan” di laporan utamanya.

Dan Run Run Shaw, Anda mungkin sudah tahu, adalah ikon dari serbuan film Mandarin ke wilayah di luar Asia timur jauh. Di pertengahan tahun 1970-an itu, boleh dikata, Run Run Shaw adalah penguasa bumi dan langit jagat sinema Hong Kong. Studio film yang didirikannya tahun 1957, pada pertengahan 1970-an sedang mengalami puncak kepopuleran. Shaw Brothers (SB) miliknya memiliki studio layaknya sebuah kota kecil seluas 850 ribu hektar dan ribuan karyawan.
Hingga pertengahan 1970-an, SB memiliki 230 bioskop, satu stasiun TV dan sekitar 1,7 juta orang menonton film-film keluaran SB saban minggu. Dari studio SB lahir film-film kungfu populer yang kini dikatakan klasik seperti Come Drink with Me (1966) karya King Hu serta The One Armed Swordman (1967) karya Chang Cheh.

Keterangan foto: Run Run Shaw semasa hidup. (dok. istimewa)

Tak ayal, saat Run Run Shaw bertandang ke hotel Borobudur, Jakarta di saat perayaan Festival Film Asia ke-21 banyak orang mengelu-elukannya.

Pertanyaannya, bagaimana film Hong Kong bisa demikian populer hingga ke luar negeri?

"Duta besar pertama sinema Hong Kong adalah Bruce Lee," tulis Tom Vick, penulis buku Asian Cinema: A Field Guide dalam artikelnya di majalah Asian Geographic edisi khusus seni pertunjukan No.54, edisi 4/2008.

Bruce Lee yang membuat mata dunia melirik pada sinema Hong Kong. Putra pelakon opera Tiongkok ini terkenal di dalam dan luar negeri lewat film-film Fists of Fury (1971) hingga Enter the Dragon (1973).

Selanjutnya >>

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sejarah kedatangan film Mandarin

Tom Vick mencatat, di Amerika (dan di Barat pada umumnya), kecintaan pada sinema Hong Kong dimulai sebagai barang cult. Istilah “cult” sering dipakai untuk menyebut kecintaan total pada suatu hal yang tidak termasuk arus-utama (mainstream). Film-film Hong Kong tadinya dianggap sebagai "cult film" yang hanya disuka segelintir orang.

Di Amerika, film-film Hong Kong tadinya dipakai sekadar mengisi program TV akhir pekan yang murah atau bioskop-bioskop indie anti mainstream yang memutar film-film cult.

Dengan awal yang bersahaja tanpa gegap gempita itu, kini sinema Hong Kong menjadi salah satu pusat sinema dunia bersama Hollywood dan Bollywood. Bintang-bintang Hong Kong—seperti Jackie Chan, Chow Yun-fat, hingga Jet Li—sama terkenalnya di Hong Kong maupun Hollywood. Sineas Hong Kong pun sudah berkiprah di Hollywood.

Kita tentu ingat John Woo, sutradara terkenal Hong Kong, sudah memfilmkan John Travolta-Nicolas Cage (Face/Off) dan Tom Cruise (Mission: Impossible 2). Sedang Michael Bay, memfilmkan Transformers 4 di Hong Kong.

***

Popularitas sinema Hong Kong di tanah air sedikit berbeda dengan di Amerika Serikat sebagaimana diceritakan di atas.
Jika menilik dari sejarahnya, walau orang Belanda yang pertama bikin film di bumi Nusantara ini, dunia perfilman tanah air kita yang ketika masih bernama Hindia Belanda sepenuhnya dikuasai peranakan Tionghoa sejak tahun 1920-an.

"Bioskop-bioskop di sini, pada tahun 1925, sudah dikuasai semua oleh orang-orang Tionghoa. Waktu itu kita sendiri belum membikin film, dan penonton film terutama orang-orang keturunan Tionghoa yang memang berduit", begitu keterangan Misbach Yusa Biran dikutip majalah Tempo tahun 1975.

Keterangan foto: The Teng Chun (dok. Indonesian Film Center)

"Bahkan seorang Cina peranakan dari Surabaya ikut main di Shanghai, dengan harapan bisa lebih menarik penonton di Indonesia", kata Misbach pula. Begitu gandrungnya peranakan Tionghoa Indonesia pada film dari "tanah leluhur" itu, hingga seorang importir film Mandarin, The Theng Chun, akhirnya memutuskan membuat film-film Mandarin di Tndonesia. "Ongkos produksi sama, tapi film Mandarin buatan Indonesia itu menggunakan bahasa Melayu, latar belakang Indonesia, dan dengan lagu-lagu kroncong ataupun kembang kacang. Nyatanya film itu lebih laku".

Pasca Perang Dunia II suatu perubahan terjadi, dunia film Jepang macet, akibat jadi pentingnya TV di masyarakat Jepang. Teknis film Jepang kemudian ditampung di Hongkong dan Taiwan, dan industri film di dua tempat itu mendadak bangkit. Kejadian itu berlangsung di tahun-tahun pertama 1960-an. Pemerintah Orde Baru yang membuka Indonesia ke dunia luar setelah sekian tahun ditutup oleh pemerintah Soekarno, memang tidak bisa lain dari menciptakan pasaran mulus bagi industri film Hongkong maupun Taiwan.

Film-film Mandarin diuntungkan karena di masa pergolakan politik awal 1960-an, film-film Hollywood dilarang masuk. Banyak bioskop bangkrut karena kekurangan pasokan film. Nah, film-film Mandarin dari Hong Kong dan Taiwan mengisi kekosongan itu saat pasokan film Hollywood belum lancar.

Majalah Tempo yang mengutip pejabat Departemen Penerangan yang mengurusi film mencatat, negeri ini pernah mengimpor 220 judul film Mandarin pada awal 1970-an. Angka itu terus menurun hingga pertengahan 1970-an, meski masih tetap banyak yaitu 90 film pada 1974. Tahun 1975, Tempo mencatat, pemerintah bertekad hanya mengizinkan 80 film Mandarin diimpor.

Selanjutnya>>

3 dari 3 halaman

Era emas film Hong Kong

Booming film Mandarin di bioskop kita kemudian berdampak juga pada perfilman tanah air. Majalah Tempo mencatat, bagaimana film-film Indonesia waktu tahun tujuh puluhan hampir semuanya film-film silat tiruan Hongkong maupun Taiwan.

Waktu itu film-film Mandarin yang menyerbu kemari sebagian besar memang film-film silat. Maka pembuat film kita pun berebutan memfilmkan kisah-kisah silat baik yang dikarang sendiri, disadur dari komik, cerita silat karangan Kho Ping Ho atau sekalian nyontek dari film-film Mandarin yang sukses. Panji Tengkorak misalnya sampai menampilkan orang-orang berpakaian "jago silat Mandarin" dengan latar belakang masyarakat Bali--tidak peduli logis atau tidak.

***

Pada akhir dekade 1970-an, studio film Golden Harvest (GH) mengambil alih kendali pasar film Hong Kong. Studio film ini yang menemukan Bruce Lee dan sepeninggal Lee, Jackie Chan. Jika Bruce Lee menyuguhkan kungfu yang serius, Jackie Chan mengkombinasikannnya dengan komedi lewat Snake in the Eagle Shadow (1978).

Keterangan foto: Jackie Chan di Police Story (1986). (imdb)

Terbukti formula ini jitu. Penonton suka dan hingga kini hal itu jadi ciri khas Jackie Chan. Sukses GH dan melemahnya dominasi Shaw Brothers membuat produser dan studio independen bangkit. SB sendiri berproduksi hingga 1987 sebelum sepenuhnya berkonsentrasi ke TV.

Sejak 1980-an, industri film Hong Kong menemukan momentum emasnya. Para produser dan sineas kian bebas berkreasi. Dicatat majalah film Montase edisi 12 tahun 2009 yang menelaah Sinema Hong Kong mencatat, pada dekade 1980-an itu, industri film Hong Kong mengalami tahap kematangan serta kreativitas yang belum pernah dicapai era-era sebelumnya.

Era gemilang ini berlanjut hingga awal dekade 1990-an dengan rekor produksi 1978 judul film pada 1992. Era ini ditandai dengan kemunculan sineas-sineas berbakat semisal Tsui Hark, John Woo, atau Ringo Lam. Tsui Hark sukses dengan film-film kungfu cepat dan energik macam Zu: Warriors from the Magic Mountain (1983) dan masterpiece-nya Once upon a Time in China/Kungfu Master (1991) yang membesarkan nama Jet Li. Sedang Woo dikenal dengan film-film gangster A Better Tomorrow/Gangland Boss (1986) dan The Killer (1989) yang mengangkat nama Chow Yun-fat.

Keterangan foto: Chow Yun-fat di A Better Tomorrow. 

Setelah pertengahan 1990-an, John Woo, Jackie Chan, Jet Li, Chow Yun-fat, hingga Tsui Hark menjadi tenar di dunia internasional hingga merambah Hollywood. Itulah puncak keemasan sinema Hong Kong.

***

Kini, sinema Hong Kong bukan lagi sinema pinggiran yang hanya ditonton segelintir orang. Setiap film baru Jackie Chan atau Jet Li ditunggu seluruh penggemarnya di seantero Bumi.

Kini, di era globalisasi siaran TV, menonton film Hong Kong tak harus menunggu filmnya diputar di bioskop atau juga menunggu stasiun TV lokal memutar. Sudah ada saluran film 24 jam nonstop yang memutar film-film Mandarin dari berbagai era macam saluran Celestial Movies.

September ini, Celestial Movies punya program tematik “I Love HK Movies.” Menarik menyimak suguhan film-film di “I Love HK Movies” sambil mengaitkannya dengan sejarah film Hong Kong dulu dan kini.

Tengok saja film Monkey King yang tayang Minggu, 7 September kemarin. Film tersebut adalah adaptasi layar lebar teranyar legenda kera sakti. Dari film itu kita bisa menengok sinema Hong Kong hari ini.

Film itu dikatakan dibuat dengan bujet 600 juta dollar Hong Kong—salah satu film termahal yang pernah dibuat di negerinya Andy Lau itu. Kita tahu, legenda kera sakti sejatinya kisah dunia khayali para dewa, siluman, dan manusia. Untuk menghidupkannya diperlukan efek khusus kelas wahid yang tak kalah dari Hollywood.

Film ini berhasil menyuguhkan efek khusus CGI (computer graphic imagery) untuk menghidupkan dunia khayali dikombinasikan dengan bintang-bintang Hong Kong mulai dari Donnie Yen, Chow Yun-fat, Aaron Kwok, Peter Ho, Joe Chen, Kelly Chen, Gigi Leung, hingga Irene Wang.

Keterangan foto: Philip Ng di Once Upon a Time in Shanghai. (dok. Celestial Movies) 

Atau tonton Once Upon a Time in Shanghai yang tayang Minggu, 21 September nanti. Film itu berlatar Shanghai 1920-an. Kisahnya tentang pemuda miskin dari desa (diperankan Philip Ng) yang merantau ke Shanghai. Si pemuda jago kungfu ini kemudian terperangkap dalam dunia kelam perebutan kekuasaan di Antara para gangster juga sekawanan orang Jepang.

Filmnya bukan cerita kungfu biasa, melainkan sebuah tribute atau penghormatan pada film-film Bruce Lee maupun kisah gangster berlatar Shanghai macam serial klasik Shanghai Bund.

Tengok juga film drama aksi modern khas Hong Kong The Constable (2013) yang tayang 28 September. Lewat film ini Anda akan melihat ironi seorang polisi di senja kariernya. Ironi yang dipaparkan di film ini sangat khas film Asia yang tak ditemukan di film-film Hollywood.

Selain itu tayang pula film-film yang bisa Anda sandingkan bagaimana sineas di masing-masing era menggarap sebuah genre. Anda bisa membandingkan A Better Tomorrow yang rilis 1986 dengan film gangster The White Storm (2013); film Jackie Chan tahun 1985, The Police Story dengan Police Story 2013 yang juga dibintangi Jackie Chan; atau pula melihat sineas Hong Kong menggambarkan pemadam kebakaran pada tahun 1997 dalam Lifeline dan pemadam kebakaran tahun 2014 lewat As The Light Goes Out.

Kita bisa banyak belajar dari film-film Hong Kong dulu dan kini. Sinema Hong Kong terus berkembang dan survive di tengah kian masifnya pemasaran film Hollywood lantaran mereka mampu beradaptasi dengan kondisi zaman. Efek khusus film-film Hong Kong masa kini tak kalah dari Hollywood. Penggemar cerita kungfu klasik maupun gangster khas Asia juga terus dilayani.

Resep ini patut dicoba sineas kita. Sukses The Raid tahun lalu sudah membuka jalan bagi perfilman kita untuk kian dikenal di seluruh dunia. Tapi, yang terjadi, kita seakan kehilangan momentum itu sebab selepas The Raid belum ada lagi film nasional yang menjadi duta besar kita pada dunia. Sayang sekali.*** (Ade/Rul)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini