Sukses

Apa Cowok Jadi Kurang Macho Jika Nonton Cinderella?

Benarkah film Cinderella hanya cocok ditonton cewek?

Liputan6.com, Jakarta Seorang kawan bercerita, akhir pekan kemarin ia nonton film Cinderella versi baru rilisan Disney di bioskop bersama kekasihnya.

Kawan itu tak menikmati filmnya. "Kalau bukan karena nonton bareng cewek saya, nggak bakalan saya mau nonton film itu," keluhnya.

Cerita itu membawa saya pada sebuah pertanyaan: benarkah Cinderella hanya cocok ditonton cewek?

Hm, begini, saya seorang pria. Dan saya toh menyukai film Cinderella tersebut. Lantas, apa dengan begitu saya jadi "kurang cowok"?

Sebelum menjawabnya, saya menemukan sebuah artikel opini menarik di laman Time yang ditulis Jaclyn Friedman, seorang penulis isu feminisme. Berbeda dengan kritikus Time yang menyukai Cinderella (seorang pria, omong-omong), Friedman (seorang wanita) tak menyukainya.

Kata Friedman, meski hadir di tahun 2015, Cinderella versi baru terasa membawa nilai-nilai lama. Di tengah Disney merilis film-film yang pro feminisme macam Frozen, Brave, maupun Maleficent—yang artinya tokoh utama wanitanya lebih mandiri dan bahkan perkasa, lewat film Cinderella baru Disney justru kembali ke nilai-nilai lama era 1950-an saat wanita mengerjakan tugas-tugas domestik dan sekadar menanti dinikahi Pangeran Tampan (baca: pria kaya).

Pandangan seperti itu tak sepenuhnya salah. Kisah Disney Princess atau Putri Disney memang kerap dikritik hanya menjual mimpi. Kisahnya juga dikritik kaum feminis tak mendidik perempuan untuk mandiri. Gambaran cantik versi kisah Putri Disney lawas juga sangat stereotip: kurus dan pirang.

Dikritik begitu, (studio) Disney sepeninggal Walt (Disney, sang pendiri) berubah. Barangkali untuk meralat Putri Tidur dan Cinderella yang pirang dan pasrah, Disney menyuguhkan Belle di Beauty and the Beast (1991) yang seorang kutu buku dan punya pendirian teguh. Disney juga kemudian menyuguhkan Pocahontas, putri Indian yang perkasa, serta Mulan, pendekar wanita dari Tiongkok. Dan, puncaknya, Anda tentu paham, saat Frozen (2013) mengedepankan kasih sayang kakak-beradik perempuan, menghadapi kejamnya dunia di luar sana.

Seperti saya tulis saat mengulas Cinderella di situs ini, sutradara Kenneth Branagh memang tak tertarik menyuguhkan pandangan—pandangan pro feminisme di Cinderella versi barunya. Ia tampak lebih tertarik mengajak penonton bernostalgia dengan Cinderella dari film animasi 1950-an, yang berarti mengusung pula nilai-nilai lawas Disney masa itu.

Yang perlu Anda pahami pula, meski mengusung nilai-nilai masyarakat lama, Cinderella Disney versi 1950-an terus diputar hingga kini dinikmati berbagai generasi. Persentuhan kebanyakan orang dengan cerita Cinderella pertama kali lewat versi animasi Disney tahun 1950-an, bukan dengan cerita aslinya yang merupakan dongeng Prancis.

Maka, pertanyaannya kemudian menjadi: kenapa cerita Cinderella yang mengusung nilai-nilai lama tetap disukai penonton sekarang?

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Cinderella Cocok Buat Cowok?

Saat Cowok Nonton Cinderella

Jawaban saya, orang suka cerita impian. Lewat kisah Cinderella klasik, penonton diajak bermimpi jadi putri kerajaan dan dinikahi pangeran tampan. Kisahnya menjadi semacam eskapisme dari problem hidup di dunia nyata.

Bagi kebanyakan perempuan, cerita putri Disney model begini menjadi kisah impian mereka sejak kecil. Usai nonton film putri Disney, anak perempuan begitu bahagia bila dibelikan baju mirip seorang putri.

Lalu, apa manfaat cerita model Cinderella bagi cowok?

Nyaris tak ada sebetulnya, kecuali melihat betapa beruntungnya bila menjadi tampan dan kaya sekaligus. Cerita model Cinderella tak mengajarkan pria untuk berusaha menjadi kaya dengan rajin bekerja, misalnya, lantaran sang pangeran, sebagai anak raja, sudah kaya raya dari sananya.

Cerita Cinderella memang ditujukan bagi perempuan. Di cerita itu, kaum pria sekadar menjadi objek, bukan subjek penggerak cerita. Kisah Pinokio atau The Lion King lebih cocok bagi bocah laki-laki karena mengajarkan kebajikan serta tanggung jawab. Atau juga film Disney yang lain, Cars yang mengajarkan nilai-nilai persahabatan.

Jadi, sebetulnya tak aneh bila ada pria yang tak merasa cocok nonton Cinderella. Sebab, pria memang bukan target audience dari dongeng putri Disney.

Namun, jika pertanyaannya adalah, "Apa pria jadi kurang macho lantaran suka cerita Cinderella?", bagi saya justru sebaliknya. Cowok macho harus suka Cinderella!

Kenapa?

Sebab, di Cinderella cowok digambarkan sempurna (kaya dan tampan). Penggambaran cowok di Cinderella adalah impian para cewek. Dan menurut saya, ketika kekasih atau istri Anda mengajak serta nonton Cinderella, mungkin saja maksudnya adalah ia hendak menunjukkan, di kehidupan nyata dia telah menemukan pangeran tampan pujaannya. Yaitu Anda, para pria, yang telah dipilihnya jadi kekasih atau suami.

Kalaupun Anda, misalnya, merasakannya sebagai sindirin (lantaran Anda tak merasa tampan atau kaya), jadikanlah filmnya sebagai inspirasi untuk memacu diri, berdandan agar jadi tampan maupun berusaha untuk jadi kaya raya seperti pangeran.

Dan bukankah tak ada yang lebih macho ketimbang membahagiakan orang terkasih, walaupun itu cuma menemaninya nonton film Cinderella? 

Tapi, bagaimana bila ada cowok nonton film Cinderella sendirian? Well, saya cuma bisa bilang, "Kasihan banget nonton sendiri, mblo…" *** (Ade)

Baca juga:

RESENSI Film Cinderella

INFOGRAFIS Cinderella

Mengenal Lily James, Si Cinderella di Film Baru Disney

10 Fakta Menarik Seputar Film Cinderella

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini