Sukses

KALEIDOSKOP 2015: 10 Film Hollywood Terbaik

Berikut 10 film Hollywood terbaik tahun 2015 pilihan wartawan kami. Apa saja?

Liputan6.com, Jakarta - Meski Indonesia tak seketat Tiongkok menyangkut pembatasan peredaran film Hollywood, toh faktanya tak semua film dari negeri Paman Sam rilis di sini. Tahun 2015 ini, misalnya, kita tak kebagian rilis film Fifty Shades of Grey pada Februari kemarin. Yang ingin nonton ke bioskop harus ke negeri tetangga Singapura.

Khusus Fifty Shades of Grey alasannya sensor. Film itu terlalu vulgar adegan seksnya hingga tak dapat lolos sensor LSF. Di luar urusan sensor, kebanyakan film Hollywood tak rilis di negeri kita karena faktor komersil. Distributornya kurang percaya diri mengedarkan film-film yang kiranya tak bakal laku di bioskop kita.

Pangkal soalnya adalah asumsi kalau masyarakat kita kebanyakan tak suka film yang berat, yang membutuhkan pemikiran mendalam saat ditonton. Padahal apa mau dikata, jenis film itu yang justru terbaik. Khusus pengujung tahun di Hollywood banyak rilis film-film kelas festival yang diramal bakal mendominasi musim festival film di awal tahun hingga perhelatan Oscar.

Film-film pengujung tahun tersebut biasanya masuk daftar deretan film terbaik media-media AS. Nah, media di sini tak punya keleluasaan macam begitu. Lalu, bagaimana kami menentukan film Hollywood terbaik tahun ini?

Ukuran yang kami gunakan yakni film Hollywood yang tayang di bioskop kita sepanjang tahun ini. Kami tak memasukkan film-film yang belum atau tidak tayang di bioskop. Jadi, inilah dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

10 & 9

10. Bridge of Spies

Sungguh menyenangkan melihat dua tokoh kawakan Hollywood berkolaborasi kembali. Saat Tom Hanks dan Steven Spielberg kerja bareng, kita seolah dapat jaminan, yang mereka suguhkan bukan karya sembarangan. Hanks dan Spielberg punya ketertarikan yang sama: kecintaan pada sejarah Amerika kontemporer. Bagi mereka, membuat film bukan sekadar lagi menghibur penonton atau meraup pendapatan di box office. Pun bukan lagi meraih kejayaan di ajang penghargaan film. Box office dan penghargaan film bagi mereka hanya bonus.

Kali ini, pelajaran sejarah dari Hanks dan Spielberg tentang masa Perang Dingin di tahun 1950-an dan 1960-an. Hanks menjadi pengacara yang membela pria yang dituduh jadi mata-mata Uni Soviet. Kemudian ia juga dapat tugas bernegosiasi dengan Soviet dan Jerman Timur membebaskan warga AS yang ditawan. Keunggulan film tak semata pelajaran sejarah lewat film yang ditorehkan dua tokoh kawakan Hollywood tersebut. Melainkan pula, lewat film ini, keduanya berhasil menanamkan nilai-nilai patriotisme Amerika di ranah budaya populer.

Dengan fasih sekaligus jenaka, kita sekali lagi melihat bagaimana Hollywood dengan teramat baik menjual nilai-nilai Amerika lewat film bikinan mereka. Bridge of Spies karya propaganda yang teramat menghibur.

 

Adegan film Krampus. (dok. 20th Century Fox)


9. Krampus


Plot Krampus mirip Home Alone (1990) yang dibintangi Macaulay Culkin ketika kecil. Di tengah suasana Natal, kita melihat seorang tokohnya yang masih kecil membuat permintaan agar orang-orang menghilang. Permintaan yang mengingkari semangat Natal ini kemudian diamini Krampus, kekuatan jahat yang mengabulkan doa mereka yang benci Natal. Dari sini, cerita horor film ini bermula. Sebuah keluarga diteror Krampus dan kawanannya.

Krampus dibuat dengan semangat meramu film Natal dengan nuansa horor. Hasilnya, karya Michael Dougherty adalah sebuah tontonan yang asyik, baik sebagai sebuah film Natal maupun film horor. Sensasi yang didapat saat menontonnya mengingatkan kita dengan keasyikan saat nonton Cabin in The Woods (2012).

3 dari 6 halaman

8 & 7

8. Black Mass

Johnny Depp pernah jadi Aktor dengan "A" besar. Namun, generasi sekarang lebih mengenal sosoknya sebagai bajak laut bergaya komikal. Lewat Black Mass, ia ingin membuktikan lagi bahwa sejatinya sang bunglon, bisa memerankan siapa saja dengan gemilang. Maka, kali ini, Depp tampil setengah botak, bertubuh tambun, berhidung palsu, dan berkulit pucat sebagai James “Whitey” Bulger, gangster Boston nan kejam.

Di luar perannya, Black Mass menjadi penanda bahwa film gangster sebagaimana dulu sering dibuat Martin Scorsese belum habis. Film ini mengajak kita kembali ke era film-film gangster macam Goodfellas, The Departed serta American Gangster. Black Mass melanjutkan tradisi film-film gangster terbaik dari Hollywood.

Robert De Niro dan Anne Hathaway dalam The Intern

7. The Intern

Ada tiga nama yang patut dapat kredit dari The Intern: Nancy Meyers, sang penulis dan sutradaranya serta dua bintangnya, Robert DeNiro dan Anne Hathaway. Meyers bukan nama asing di ranah komedi romantis dengan pelakon bintang kawakan. Ia yang membuat Something's Gotta Give (2013) yang mempertemukan Jack Nicholson dan Diane Keaton serta It's Complicated (2009) yang dibintangi Meryl Streep, Steve Martin dan Alec Baldwin. Maka, tak sulit baginya mengarahkan sang legenda hidup Robert DeNiro.

Yang patut kita kagumi, Meyers mencipta sebuah film yang menyenangkan, sebuah "feel good movie" yang dengan amat baik dimainkan dua pelakon beda generasi. DeNiro dan Hathaway sama-sama bermain rileks. Keduanya tak ingin saling mencuri perhatian. Tapi dengan begitu, filmnya jadi karya yang enak ditonton. Semua itu tak mungkin berhasil tanpa kontrol Meyers pada ego aktor dan aktrisnya.

Berkat arahannya yang asyik, kita lalu fokus pada cerita filmnya, bukan para aktor dan aktrisnya yang sok pamer akting. Bertahun-tahun dari sekarang, The Intern bakal dikenang dan jadi rujukan kelas manajemen ataupun bisnis tentang menjembatani jurang perbedaan generasi.

4 dari 6 halaman

6 & 5

6. The Walk

The Walk bukanlah film, melainkan sebuah puisi. Mungkin terdengar berlebihan. Biar saja. Anda bisa buktikan sendiri. Di luar cerita tentang upaya seorang warga Prancis Philippe Petit (di film dimainkan Joseph Gordon-Levitt) menyeberangi menara kembar World Trade Center (WTC) dengan seutas tali pada 1974, film karya Robert Zemeckis ini adalah sebuah puisi penghormatan bagi sang menara.

Hanya sesekali ada film yang menggunakan kamera berteknologi 3 D dengan tujuan bukan sebatas gimmick pencari untung (karena tiket bioskop 3D lebih mahal). Selain The Walk, hanya ada Life of Pi milik Ang Lee dan Hugo-nya Martin Scorsese.

Berbagai adegan mencekam sekaligus sisi berbahaya Planet Mars ditampilkan dalam trailer The Martian. 

5. The Martian

Yang patut diacungi jempol dari The Martian adalah filmnya anti-tesis dari Interstellar. Bila Interstellar bikinan Christopher Nolan itu begitu serius dan bikin depresi saat ditonton, The Martian garapan Ridley Scott ini seolah ingin membuktikan, film fiksi ilmiah tak seharusnya melulu seperti itu. Ia juga bisa sesekali jenaka. Mungkin itu sebabnya di ajang Golden Globe 2016, The Martian dimasukkan di kategori film komedi dan musikal.

The Martian berkisah tentang astronot NASA yang dikira tewas dan ditinggalkan kawan-kawannya di planet Mars. Upaya penyelamatan dan kisah bertahan hidup jadi pokok film ini. Yang menjadi filmnya terasa lebih unggul, di luar situasi kritis dan maha serius itu sineasnya masih bisa menyelipkan humor yang bikin kita tersenyum.

5 dari 6 halaman

4 & 3

4. Shaun the Sheep: The Movie

Menonton Shaun the Sheep: The Movie, sebuah film yang diangkat dari serial untuk anak-anak, kesan pertama yang timbul adalah betapa filmnya dengan sangat baik menggambarkan London masa kini dengan sangat baik. Kota London di film ini bukan sebuah kota yang homogen, melainkan kota tempat beragam etnis dan agama berbaur. Sungguh tepat sineasnya (film ini lahir dari studio Aardman Animation yang meraih piala Oscar Animasi Terbaik lewat Wallace and Gromit) mengajarkan multikulturalisme sejak dini pada anak-anak.

Selain itu, seperti serialnya pula, kita melihat bagaimana makna film sebagai gambar bergerak (motion picture) dipraktekkan. Alhasil, film ini tak mengandalkan dialog. Namun, dengan bahasa gambar toh kita yang menonton mengerti kompleksitas ceritanya. Inilah tontonan semua umur sesungguhnya!

Film Sicario. (dmcdn.net)

3. Sicario

Sicario membuktikan tangan dingin Dennis Villeneuve, sutradara kelahiran Quebec, Kanada, bukan keberuntungan ataupun keajaiban sekali seumur hidup. Setelah mencuri perhatian pecinta film lewat Prisoners (2013), ia membuktikan mampu membuat film yang sama kerennya dengan yang pernah dibuatnya. Sicario jadi buktinya.

Film ini, yang judulnya berarti pembunuh bayaran, mengisahkan tanpa tedeng aling-aling kompleksitas pemberantasan narkoba di perbatasan Amerika hingga masuk ke kota paling kejam di Meksiko. Seperti Prisoners, Villeneive tak ingin mendramatisasi adegan kekerasan yang ia sajikan. Tapi dengan begitu yang tersaji di layar begitu realistis. Ia menggedor rasa nyaman kita. Tapi dengan begitu, apa yang disajikannya akan membekas terus di kepala hingga lama.

6 dari 6 halaman

2 & 1

2. Mad Max Fury Road

Mad Max Fury Road adalah kejutan paling manis dari Hollywood tahun ini. Film ini menjadi model bagaimana menyegarkan sebuah franchise yang lama tertidur pulas. Ia berhasil disukai penggemar lawas dan penggemar baru. Sang sutradara sekaligus kreatornya, George Miller menyuguhkan tontonan yang bikin jantung tak henti berdegup serta berteriak, persis naik roller coaster. Bahkan, yang terlihat lebay pun (baca: si pemetik gitar yang bergelantungan di truk) jadi terlihat keren.

Kalaupun ada yang patut jadi pertanyaan dan membuat hasil film ini kurang sempurna, justru betapa usai nonton bukan sosok sang jagoan Mad Max yang paling kita ingat. Melainkan Furiosa (Charlize Theron) sang jagoan wanita bertangan buntung dan berkepala plontos. Hm, mungkin memang ada tujuannya Miller menyuguhkan kita jagoan wanita di garda depan hingga menenggelamkan si tokoh utama yang berkalamin pria. Mungkin ini bentuk penghormatan bagi gender yang konon dinomor-duakan oleh Hollywood.

 Adegan film Inside Out. (dok. Disney/Pixar)

1. Inside Out

Inside Out adalah film Hollywood terbaik tahun ini! Titik.

Oke, penjelasan sependek itu mungkin dirasa kurang cukup. Tapi bayangkan ini, andai perihal isi kepala kita belum dijelaskan secara ilmiah oleh para ilmuwan, bukan tak mungkin apa yang disajikan di Inside Out bakal diterima sebagai kebenaran ilmiah.

Lewat Inside Out, studio animasi Pixar kembali membuktikan untuk urusan membikin film animasi bercita rasa seni, mereka yang paling unggul. Di wilayah animasi, Pixar tak ubahnya The Beatles. Karya yang mereka hasilkan selalu istimewa. Inside Out sebuah masterpiece baru mereka.** (Ade/Des)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini